BAB I PERKENALAN PERTAMA
Manusia
adalah mahkluk yang bertanya, itulah yang merupakan ciri khas manusia
dibandingkan mahkluk hidup lainnya. Bartanya artinya, manusia tidak mau
menerima secara pasif begitu saja, baik keadaan dirinya maupun lingkungannya.
Ia ingin tahu segala sesuatu. Inilah kunci peradaban manusia. Peradaban adalah
hasil proses transformasi dan adaptasi. Peradaban adalah hasil proses perubahan
dan penyesuaian diri. Manusia adalah
mahkluk yang bertanya. Begitulah ia, sejak ia lahir. Ia bertanya dengan
matanya. Kemudian dengan tangannya. Baru terakhir dengan mulutnya Pertanyaan
yang paling awal, ialah : apa ? what is ? tentu kita masih ingat betapa sering
tidak sabarnya kita menjawab pertanyaan-pertanyaan apa ini dan apa itu. Disini
manusia mulai menghadapi dilema untuk menjawab pertanyaan apa, yang dibutuhkan
adalah sebuah nama. Tetapi untuk menjawab pertanyaan mengapa yang diperlukan
adalah sesuatu gagasan.
Mengapa manusia harus menghadapi dilemma ?
Sebab pada satu pihak, manusia tidak betah hidup dalam
rahasia. Pada pihak lain manusia menyadari bahwa akalnya tak selalu berhasil
menyingkap semua rahasia dan menjawab semua pertanyaan. Disini kita berjumpa
dengan dimensi supra-rasional dalam kehidupan manusia. Ketika manusia sampai
kepada batas kemampuan rasionalnnya, ia terbuka untuk hal-hal yang
supra-rasional, yang trans-senden. Yang mengatasi akalnya. Yang melampaui
kenyataan-kenyataan lahiriah yang dapat ditangkap oleh panca inderanya.
Menurut Malinowsky mereka membutuhkan ilmu untuk
melaksanakan hal-hal yang ada di dalam batas kemampuan manusiawi mereka. Disini
mereka harus berahadapan dengan kuasa-kuasa diluar kemampuan manusiawi mereka.
Ilmu saja tidak cukup. Mereka membutuhkan sesuatu yang lain. Yang lain itu
adalah agama.
Kesadaran etis manusia merupakan bagian yang intrinsic
didalam hakekat kemanusiaan. Yang dimaksud dengan kesadaran etis adalah.
Kesadaran tentang norma-norma yang ada pada diri manusia. Norma-norma inilah
yang mengendalikan tingkal laku manusia. Kesadaran etis belum dapat disebut
etika setiap orang dan semua orang mempunyai kesadaran etis. Tetapi itu tidak
berarti bahwa setiap orang dan semua orang mengetahui apa-apa tentang itu.
Etika adalah ilmu atau studi mengenai norma-norma yang
mengatur tingkah laku manusia. Secara seerhana dapat dikatakan, bahwa etika itu
berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, tentang apa yang
bener, baik dan tepat. Etika membahas, menganalisa, dan kemudian merumuskan
objek studinya itu secara rasional dan masuk akal. Dengan mengatakan bahwa
prinsip-prinsip etik itu relative bersifap langgeng dan universal, tidak
berarti bahwa etika lalu merupakan ilmu yang statis. Sebaliknya yang benar.
Etika adalah ilmu yang dinamis.
BAB II PERSOALAN KITA
Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia. Tetapi, tidak semua yang harus dilakukan oleh manusia itu adalah
persoalan etika.
Disini kita berhadapan dengan apa yang seharusnya, ya,
tapi bila… harus , bila… jangan atau tidak boleh, bila… disini kitab erhadapan dengan apa yang
wajib kita lakukan, tetapi itu tergantung. Keharusan ini disebut sebagai
keharusan yang hipotetis etika tidak
sekali lagi tidak berbicara tentang keharusan yang hipotetis.
Keharusan yang hipotetis adalah keharusan yang
bersifat kondisional. Artinya, ia hanya berlaku untuk memnuhi kondisi-kondisi
atau syarat-syarat tertentu. Keharusan etik adalah keharusan yang tidak
kondisional. Ia bersifat mutlak. Ia harus begita dalam kondisi apapun juga.
Keharusan seperti ini disebut keharusan Kategoris.
Yang seharusnya di dalam etika ialah : yang benar,
yang baik, dan yang tepat. Yang tidak boleh dalam etika ialah : yang salah,
yang jahat, dan yang tidak tepat.
Deontologis. Carfa befikir etik seperti Deontologis
yaitu cara berfikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip, hokum, norma
obyektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kodisi apapun
juga. Etika yang deontologis, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan
apa yang salah. Di dalam etika Kristen, cara berfikir deontologis adalah cara
melakukan penilaian etik yang meletakkan HUKUM ALLAH sebagai satu-satunya norma
yang tidak dapat ditawar-tawar. Cara berfikir teleologis. Teleos, artinya
tujuan cara berfikir teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hokum. Ia tau betul
apa yang benar dana apa yang salah.
Cara berfikir teleologis dengan demikian bebas dari
bahaya. Bahaya yang pertama adalah bahaya menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Bahaya yang kedua dalam bentuknya yang extrim adalah hedonism.
Kontekstual. Pada prinsipnya, etika yang deonlogis maupun
teleologis tidak terlampus memperhitungkan situate dan kondisi. Hokum atau
prinsip atau norma yang diperkenalkan oleh Kant adalah universal. Artinya
berlaku dimana saja dan kapan saja. Menurut Aristoteles dimanapun dan kapanpun.
Fungsi etika adalah untuk memberikan pegagngan kepada
manusia mengenai apa yang seharunya.
Keputusan. Etika bukan saja ilmu yang menarik etika
adalah juga ilmu yang sulit. Iman kristinani memberi penjelasan, bahwa itu
tidak mungkin karena kita adalah orang-orang yang berdosa. Menurut Marthin
Luther, orang percaya adalah orang yang sekaligus dibenarkan dan sekalgus
berdosa. Jadi keputusan etis apapun yang kita lakukan tidak pernah sempurna. Ia
selalu harus kita lakukan dengan penuh kerendahan hati bahkan dengan pengakuan
dosa.
BAB II NILAI-NILAI ETIS
Manusiawi. Etika berbicara tentang apa yang
seharusnya. Tentang apa yang benar, baik dan tepat.
Filsafat hidup. Secara umum dan sederhana, ilmu-ilmu
diperlukan untuk menjelaskan kenyataan. Ilmu-ilmu secara ilmiah juga
menjelaskan pertanyaan, menjelaskan hukum-hukum alam tentang sebab akibatnya
sesuatu gejala. Etika adalah ilmu
tentang nilai-nilai itu.
Nilai-nilai. Ia menyangkut keyakinan tentang yang
benar, yang baik dan yang tepat. Setiap orang mempunyai nilai-nilai yang
dipegangi. Tapi tak semua orang tau persis apa itu. Nilai adalah sesuatu yang
dijunjung tinggi. Yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Menurut
Steeman , nilai adalah memberi makna kepada hidup ini titik tolak isi dan
tujuan.
Fungsional
dan ideal. Dalam kehidupan
kita tak selalu apa yang kita ingini, walaupun dengan segenap hati, dapat
terjadi. Dan oleh karena itu, tidak jarang hidup ini memaksa kita untuk
berkompromi. Politik misalnya adalah seni kompromi. Orang-orang dengan nilai
ideal selalu menarik dan mengagumkan. Persoalan etis adalah persoalan bagaimana
menitih jalan diantara yang fungsional dan ideal itu.
BAB IV KESADARAN ETIS ITU BERTUMBUH
Ilmu tidak dapat menjawab semua persoalan etis. Pada
bab ini memberikan contoh bagaimana etika dapat belajar dari psikologi.
Khususnya seorang psikolog Lawrence Kohlberg. Kohlberg membagi jenjang ksedaran
etis menjadi enam jenjang. Yang terbagi atas tiga bagian pertama, molaritas
pra-konvensional. Yang kedua, tahapan moralitas konvensional. Dan yang ketiga,
ialah tahapan moralitas purna-konvensional.
Molaritas Pra Konvensional : Kekanak-kanakan
Jenjang
pertama, Kohlberg
menamakan jenjang yang paling awal dari kesadaran etis seseorang, sebagai
kesadaran yang berorientasi kepada hukuman.
Jenjang
kedua, pada jenjang
ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Motivasi utama
dalam tindakan moral pada jenjang kedua ini adalah: bagaimana mencapai
kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya.
Kohlberg mengatakan bahwa nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat
instrumental. Artinya alat untuk mencapai kenikmatan.
Moralitas Konvensional: Orangtua
Pada molaritas konvensional, titik pusatnya adalah
diri sendiri. Pada molaritas konvensional, cakrawala pemikiran seseorang sudah
jauh lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang lain.
Jenjang
ketiga, jenjang ketiga
ini telah terarah kepada bagaimana menyenangkan orang lain. Orang tidak lagi
diperbudak oleh dirinya sendiri. Tidak lagi diliputi oleh ketakutan-ketakutan.
Yang ada ialah, melakukan yang benar dan yang baik.
Jenjang
keempat, yang harus
jadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan ialah, harus merujuk pada
suatu prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Yaitu hukum obyektif yang tidak
hanya berlaku untuk satu-satu kelompok saja., tetapi hukum yang mempunyai
keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal. Inilah
orientasi dari moralitas pada jenjang ini. Pada jenjang ini, seseorang telah
berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan
berpegang pada yang lebih luas lagi.
Molaritas Purna-Konvensional: Dewasa
Menurut Kohlberg, jenjang keempat belumlah merupakan
puncak perkembangan moral manusia.
Jenjang
kelima, pada jenjang
ini orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya tidak lain adalah
kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh
sebab itu, kesepakatan antar manusia pulahlah yang dapat mengubahnya. Tidak ada
hukum yang serta merata dianggap kudus yang tidak dapat diubah.
Jenjang
keenam, menurut
Kohlberg, pada jenjang keenam iniliah perkembangan pemikiran moral seseorang
mencapai puncaknya. Yaitu morolitas yang pantang pengkhianati suara hati nurani
dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Secara tidak langsung, Kohlberg
berbicara tentang sebuah sikap etis yang amat penting, tapi yang sering
terlupakan. Yaitu pertama, kita harus terlebih dahulu berusaha memahami sesuatu
sedalam-dalamya, sebelum menilai. Dan kedua, prinsip-prinsip etis yang kita
yakini itu pertama-tama harus berlaku untuk kita, sebelum kita terapkan kepada
orang lain. “karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu
akan dihakimi, dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan
kepadamu” (Matius 7:2).
Apakah universalitas menghilangkan identitas, apakah
identitas bertentangan dengan universalitas, apakah keterkaitan seseorang pada
kelompok tertentu selalu berarti mengurangi universalitasnya. Universalisme
bukanlah kosmopolitanisme. Kedudukan seseorang sebagai bagian dari kemanusiaan
yang universal tidak serta merta menanggalkan ikatannya dengan
persekutuan-persekutuan tertentu yang lebih sempit.
BAB V ETIKA ITU PENJARA
Kohlberg mengatakan, bahwa moralitas yang dewasa
adalah moralitas yang didalamnya manusia mengambil keputusan-keputusan sendiri
sebebas-bebasnya.
Penjara
sosial. Kata William
Shakespeare “seluruh dunia adalah panggung sandiwara.” Kata Jean Jacques
Rousseau “Manusia itu dilahirkan bebas. Tapi dimanapun ia terbelenggu. Ia
beprikir bahwa ia adalah tuan atas yang lain. Sesungguhnyalah, ia lebih budak
dari mereka.” Kita dipenjarakan oleh nilai-nilai etis kita sendiri, kita lebih
sering tidak mengisyafinya bagaikan budak yang merasa bebas. “sebaik-baiknya
orang yang tidak sadar, masih lebih baik orang yang eling, orang yang sadar.’’
Ronggowarsito. Penjara social telah menentukan selera dan cita-rasa
kita.
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa nilai-nilai etis
itu sebenarnya tidak lain daripada kesepakatan-kesepakatan social belaka.
Masyarakatlah yang menetapkannya.
Penjara
ekonomi. Karl Marx
mengatakan bahwa siapa yang menguasai ekonomi, ialah yang menguasai manusia.
Seluruh tindak-tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi. Didalam
masyrakat ekonomi adalah struktur-bawah yang memberi bentuk dan corak. Agama
pun terlepas dari ekonomi,.
Menurut Marx agama adalah alat legitimasi/alat untuk
mengesahkan dari kelas ekonomi tertentu. Ekonomi memenjarakan nilai-nilai etis
kita.
Mary
Douglas, masyarakat
manusia itu pada hakekatnya dapat dibagi menjadi empat tipe.
·
Tipe
pertama, adalah tipe masyarakat yang amat menonjolkan faktor kelompok.
·
Tipe
kedua, adalah yang sepenuhnya bertolak-belakang dari tipe yang pertama.
·
Tipe
ketiga, menurut Douglas adalah, tipe masyarakat dimana baik factor kelompok
maupun faktor individu sama-sama mendapat penekanan.
·
Tipe
keempat, yaitu tipe masyarakat yang tidak menekankan baik faktor kelompok
maupun faktor individu.
BAB
VI ETIKA ADALAH PERAN
Bebas. Gambaran sebuah panggung pertunjukan berbeda dengan
sebuah penjara. Panggung pertunjukan membawa rasa kebebasan.
Memilih. Kebebasan adalah kenyataan yang ada pada setiap
kita. Bila kita tidak bebas, itu adalah karena di dalam kebebasan kita, kita
memilih untuk tidak bebas. Juga ketidakbebasan adalah tanda kebebasan manusia.
Sartre. Menurut Sartre, ada sebuah dimensi didalam kehidupan
manusia, dimana seseorang sekedar adalah obyek permainan keadaan disekitarnya,
tanpab dapat berbuat apa-apa. Dimana orang diperhadapkan kepada suatu keharusan
yang hanya harus diterima.
Dalam
bahasa fasafati, orang menganggap bahwa manusia adalah esensi yang sudah jadi.,
eksistensinya tinggal mengikuti esensi yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Menurut
Sartre, tidak ada norma-norma etis yang sudah jadi dan tinggal kita ikuti.
Tidak seorangpun dapat dan berhak untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk
kita. Sartre mempunyai pemahaman falsafi yang bertolak belakang dengan hakekat
manusia yang sebenarnta. Baginya, manusia adalah pencipta. Padahal ia adalah
mahkluk. Manusia itu bebas tanpa batas. Padahal, ia begitu terbatas.
Dietrich
Bonhoeffer: kebebasan tanpa ketaatan adalah perbudakan hawa nafsu, sedang
ketaatan tanpa kebebasan adalah penindasan. Tanggung jawab adalah kedua-duanya.
Ketaatan diadalam kebebasan, dan kebebasan didalam ketaatan. Itulah manusia
yang sebenarnya.
BAB VII ETIKA ADALAH RASA
Rasa. Manusia dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama,
adalah mereka yang lebih mamakai rasio. Kelompok kedua, adalah mereka yang
lebih mengutamakan rasa. Yang satu dikendalikan oleh otak, sedangkan yang lain
dikendalikan oleh hati.
Kasih itu cukup, inilah sikap etis yang menggemparkan yang pernah
diperkenalkan oleh Joseph Fletcher, dengan apa yang disebutnya Etika Situasi. Kasih adalah nilai etis
yang utama dan pokok, bahkan satu-satunya norma etis. Setiap tindakan, yang
lahir dari kasih, adalah benar dan baik dan tepat.
Moralitas baru, disebut baru oleh karena berbeda dengan moralitas
yang lama., ia tidak menggantungkan diri kepada hokum-hukum yang eksternal dan
obyektif. Disebut baru oleh karena berbeda dengan moralitas lama, ia tidak
secara hantam kromo mau menerapkan satu norma intuk semua situasi.
Kasih itu rasional. Menurut Fletcher, kasih itu tidak buta. Kasih yang
benar selalu menuntut perhitungan-perhitungan rassional. Orang harus memikirkan
secara saksama konsekwensi-konsekwensi setiap tindakannya.
Kasih saja tidak cukup. Melalui Etika
Situasinya, memberi peringatan penting bagi kita. Yaitu, bahwa hendaknya kita
tidak tergesa-gesa dan dengan semena-mena menghakimi tindakan orang lain hanya
berdasarkan hukum-hukum yang obyektif. Yaitu hendaknya kita dengan penuh
peringatan menilai seseorang tanpa terlepas dari situasi yang unik dimana orang
itu berada.
Etika emotif. Masih dalam wilayah etika adalah rasa. Maksudnya
ialah suatu pendekatan filsafati yang disebut analisa linguistik. Etika adalah soal cita-rasa. Sebab itu tidak
dapat diperdebatkan.
Soal keyakinan. Muara dari pandangan etis seperti yang dikemukakan di atas,
adalah: kita tidak dapat mengatakan apakah suatu pandangan etis tertentu itu
benar atau salah. Persoalan di dalam etika, bukanlah soal benar atau salah.
Tetapi persoalan cita rasa siapa yang menang. Para filsuf profesional mengenal
dua kebenaran yaitu;
a.
Kebenaran
yang dihasilkan oleh hukum-hukum logika.
b.
Kebenaran
yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ilmiah.
Penganut analisa bahasa sehari-hari berkesimpulan
bahwa: sekalipun kebenaran etis tak
dapat dibuktikan menurut hukum-hukum logika atau menurut prosedur penelitian
ilmiah, ia tetap adalah kebenaran. Etika adalah soal sikap (yang lahir dari
perasaan) tetapi juga soal keyakinan (tentang benar dan salah).
BAB VIII ETIKA ADALAH AKAL
Pertama-tama etika harus belajar dari ilmu psikologi. Lawrence Kohlberg, etika
bukanlah sesuatu yang statis. Bahwa kesadaran moral itu berkembang dan
bertumbuh. Bahwa yang benar dan yang baik itu relative. Relatif di dalam arti
dan hubungan dengan jenjang perkembangan moral seseorang. Kemudian etika juga mesti
belajar dari ilmu sosiologi.
Maksudnya ialah, agar kita tidak terlalu cepat bermimpi seolah-olah mengambil
keputusan etis dengan bebas adalah perkara gampang.
Manusia itu sesungguhnya bebas, kata
Sartre. Tetapi kebebasan itu sering terasa sebagai beban dan kutuk. Sadar atau
tidak sadar, manusia tidak mau dan tidak berani bebas. Secara falsafi,
tokoh-tokoh analisa linguistik menurut mereka pernyataan etis bukanlah
pernyataan yang menyangkut factual yang dapat diteliti dan dibuktikan secara
ilmiah. Penilaian etis menurut mereka adalah menyangkut keyakinan orang.
Kognitif bukan emotif. Mengambil keputusan etis dan melakukan penilaian
etis, adalah tindakan kognitif bukan emotif. Menyangkut otak bukan hati. Dosa
yang terbesar menurut Oscar Wilde adalah kebodohan. Yaitu ketika manusia tidak
mau menggunakan akalnya.
Dengan
akalnya manusia dapat mengetahui lingkungan sekitarnya dari yang paling sempit
sampai kepada yang paling luas.ia dapat mengetahui hukum-hukum kodrat.
Hukum Kodrat. Alam semesta mempunyai hukum-hukumnya. Ini dapat
diketahui melalui akal.
Ditemukan
atau ditulis. Alam
semesta diandaikan sebagai sesuatu yang telah jadi, yang telah selesai. Alam
semesta bukanlah sesuatu yang telah jadi, melainkan terus-menerus terlibat di
dalam suatu proses untuk menjadi.
Dua
pemikiran tentang hubungan (akal) manusia dengan alam yaitu filsafat
obyektivisme dari Ayn Rand. Dan yang kedua ialah filsafat pragmatism dari John
Dewey.
BAB IX ETIKA KRISTEN
Etika Kristen pertama-tama, adalah etika, harus
merupakan sesuatu yang terbuka dan dinamis bergerak didalam ruang dan waktu.
Analisa etis harus merupakan suatu interaksi antar disiplin ilmu, dengan
konteks budaya sekitar, berorientasi pada masalah-masalah kongkret, dan peka
terhadap perkembangan serta kecenderungan-kecenderungan mutakhir.
Secara
sederhana, etika adalah ilmu yang membahas mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam situasi tertentu.
Gustafson mengatakan bahwa Etika Kristen itu tidak hanya boleh hanya asal
mengutip ayat-ayat Alkitab, lalu beranggapan bahwa dengan berbuat itu secara
otomatis telah menjadi Etika Kristen.
Disimpukan
bahwa Etika Kristen ternyata bukanlah etika untuk orang Kristen. Etika oleh
orang Kristen benar. Sebab ia diilhami oleh asumsi-asumsi dasar iman kristiani.
Tapi ia adalah untuk semua orang.
Teologi
juga berbicara tentang manusia. Teologi sebenarnya dalam arti tertentu adalah
anthropologi. Artinya ialah ketika Allah menyatakan diriNya, maka yang terjadi
ialah bukan saja bahwa Ia hendak menyatakan siapa Dia, tetapi juga hendak
menyatakan siapakah manusia sebenarnya-manusia kepada siapa Allah hendak
melibatkan diri di dalam dialog. Melalui teologilah, orang Kristen berusaha memahami,
menjelaskan dan mengkomunikasikan siapa manusia itu sebenarnya.
Manusia itu berdosa. Manusia adalah gambar Allah yang
jatuh kedalam dosa (Kejadian 3). Manusia adalah mahkluk. Ia bukan Allah. Ia
tidak terbatas. Kebaikannya pun terbatas. Terbatas, dalam arti: dapat menjadi
tidak baik. Hanya Allah yang kebaikannya tanpa batas, artinya tidak mungkin
menjadi tidak baik.
Manusia itu pendosa yang dibenarkan. Pemahaman yang
realistis tentang manusia tercermin di dalam aspek yang ketiga dalam
anyhropologi Kristen yaitu, bahwa manusia adalah pendosa yang ditebus dan
dibenarkan oleh Allah di dalam dan melalui Yesus Kristus.
Implikasi etis. Artinya secara etis dipahami manusia
sebagai mahkluk ciptaan bahkan sebagai gambar Allah yang baik, tetapi yang
jatuh kedalam dosa, dan kemudian telah dibenarkan di dalam Yesus Kristus dan
dikuduskan melalui karya Roh Kudus.
·
Manusia
adalah mahkluk ciptaan dan gambar Allah yang baik berarti, bahwa kebaikan
eksistensi manusia bahkan seluruh alam ciptaan harus menjadi asumsi dasar
positif dalam setiap pertimbangan dan penilaian etis kita.
·
Manusia
adalah mahkluk ciptaan yang telah jatuh kedalam dosa berarti, bahwa kedosaan
manusia dan rusaknya seluruh alam ciptaan harus menjadi asumsi dasar negative
dalam setiap pertimbangan dan penilaian etis kita.
·
Manusia
yang pendosa itu telah dibenarkan dan dikuduskan berarti, bahwa pergumulan etis
kita selalu bergerak di antara kemungkinan dan keterbatasan.
BAB X ASUMSI DASAR POSITIF
Setiap orang boleh menentukan Asumsi Dasar Positifnya
sendiri-sendiri. Namun walaupun demikian, asumsi dasar positif bukan saja
dipahami sebagai sesuatu yang subyektif saja tapi juga harus memenuhi kriteria
yang obyektif.
Pertama, asumsi dasar positif harus dapat
dipertanggungjawabkan secara teologis alkitabiah.
Kedua, asumsi dasar positif harus dapat
dipertanggungjawabkan menurut penalaran yang umum, sehingga paling sedikit
secara hipotetis ia dapat dipahami dan diterima secara universal.
Menentukan
asumsi dasar positif merupakan salah satu langkah terpenting di dalam etika.
Sebab inilah yang akan menjadi tolok ukur segala sesuatu. Di dalam bahasa
Inggris, beban untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang berlawanan dengan
asumsi dasar positif itu disebut “burden of proof”.
Ada
empat usulan Asumsi Dasar Positif yang telah dikemukakan oleh Eka Darmaputera,
yaitu:
1)
Bahwa
eksistensi semua ciptaan itu baik
2)
Bahwa
kehidupan perorangan harus dihormati
3)
Bahwa
seluruh umat manusia itu satu
4)
Bahwa
semua orang itu sederajat
Etika
Kristen mengenal keadaan ‘darurat’, sehingga membenarkan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan Asumsi Dasar Positif. Karena disamping dasar asumsi
positif, etika Kristen mengenal apa yang disebut Asumsi Dasar Negatif. Tanpa
memperhitungkan, maka Etika Kristen tidak akan fingsional, sebab ia tidak
memperhitungkan seluruh segi dari kenyataan hidup manusia.
BAB XI ASUMSI DASAR NEGATIF
Kenyataan hidup manusia seringkali memaksakan
pengecualian-pengecualian. Secara etis pengecualian-pengecualian itu tidak
hanya mempunyai arti praktis. Ia mempunyai arti etis bahkan teologis. Selaian
itu juga pengecualian-pengecualian tersebut mencerminkan dimensi yang lain dari
hakekat kemanusiaan kita. Hanya memperhitungkan Asumsi Dasar Positif saja
berate hanya melihat manusia dari satu dimensi saja., yaitu dimensi sebagai
gambar Allah. Namun alkitab mengatakan, bahwa gambar Allah itu telah jatu ke
dalam dosa. Bahwa dosa kini mau tidak mau diperhitungkan secara prinsipal,
apabila kita mau berbicara tentang manusia dan seluruh tindakannya.
Pengecualian-pengecualian
tidak hanya merupakan masalah praktis, melainkan bersangkutpaut dengan
kenyataan hakiki dari manusia sendiri. Bahwa bukan hanya Asumsi Dasar Positif,
tetapi juga Asumsi Dasar Negatif, harus kita perhitungkan ketika kita berbicara
mengenai tindakan manusia.
Kefanaan
manusia. Kefanaan
manusia tidaklah jahat pada dirinya. Inkarnasi, yaitu peristiwa Allah menjadi
manusia, justru menunjukan sebaliknya. Allah menghargai kefanaan manusia,
dengan menjadikan DiriNya yang kekal itu menjadi manusia yang fana. Allah tidak
terbatas. Kefanaan manusia juga berarti bahwa ia tek pernah mampu secara
sempurna melaksanakan Asumsi-asumsi Dasar Positifnya sendiri. Asumsi Dasar
Positif tidak saja merupakan titik-tolak bagi tindakan manusia, tetapi juga
merupakan tujuan/sasaran tindakannya yang selalu berusaha didekati, tapi tak
benar-benar dikuasai. Kefanaan manusia seharusnya bersifat amat rendah hati dan
terbuka.
Kedosaan
manusia. Dosa merupakan
tema yang sentral di dalam seluruh pemberitaan Alkitab setiap kali ia berbicara
tentang siapa manusia itu. Bahwa doasa adalah suatu kenyataan yang universal.
Bahwa semua orang telah berdosa dan kurang kemuliaan Allah. Universalitas dosa
juga dapat dipahami dari sudut lain. Yaitu dari kebebasan manusia.
Implikasi
etis. Setiap
tindakan dan kebijaksanaan harus didasarkan atas asumsi bahwa semua orang dan
setiap orang bias berbuat salah. Bukan saja bias, tetapi selalu cenderung untuk
berbuat salah, sebab semua orang adalah mahkluk yang fana dan berdosa belaka.
BAB XII JAHAT-TAPI-APA-BOLEH-BUAT
Masalah keharusan untuk menerima pengecualian etis dan
kebutuhan untuk berkompromi dengan jahat dan yang salah, ternyata bukanlah Cuma
masalah manusia modern. Ia sudah hadir sejak awal sejarah manusia. Ketika
berbicara mengenai perceraian, Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan
perceraian oleh karena ‘ketegaran hatimu’ (Matius 19:8). Musa tahu bahwa itu
adalah jahat tapi apa boleh buat. Apakah dengan begitu Yesus menolak perceraian
sama sekali ? jawab Yesus : “tetapi Aku berkata kepadamu: barangsiapa
menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain,
ia berbuat zinah” (ay. 9).
Pandangan
Seneca tentang tulisan-tulisan pemikir-pemikir Kristen (antara lain :Thomas
Aquinas dan Martin Luther) di jaman patristik. Ketika mereka membicarakan
masalah hak milik, perbudakan dan peperangan. Augustinus, misalnya, dengan
tandas mengatakan bahwa perbudakan dan peperangan tidaklah sesuai dengan berita
Injil. Namun demikian keduanya dibutuhkan sebagai akibat kejatuhan manusia ke
dalam dosa. Peperangan menurut Augustinus, adalah kejahatan yang tragis. Kita
harus menghindarkannya seberapa mungkin. Tapi oleh kejatuhan manusia ke dalam
dosa, ia kadang-kadang dibutuhkan untuk menghindarkan manusia dari kejahatan
yang lebih besar. Jahat tapi apa boleh buat.
Terpaksa
melakukan sesuatu yang jahat sama sekali tidak boleh disamakan dengan terpaksa
berbuat dosa, sehingga seolah-olah menimbulkan kesan bahwa ada dosa yang dapat
dibenarkan. Apakah tidak lebih baik kita untuk tidak berbuat apa-apa, daripada
terpaksa berbuat dosa? Leo Tolstoy mengatakan bahwa “lebih baik kita menderia
oleh karena dosa, daripada berusaha melawannya tetapi dengan akibat kita
terpaksa berkompromi dengannya.
Ellul
mengatakan bahwa kekerasan tidak pernah menghasilkan kebaikan.dari perspektif
Kristen, tidak berbuat kekerasan selalu lebih baik daripada berbuat kekerasan. Sebab menurutnya, satu
tindak kekerasan akan merupakan awal dari suatu lingkaran setan yang hanya
melahirkan kekerasan-kekerasan lain tanpa akhir.
Etika
yang fungsional dan operasional harus mempunyai ruang untuk keterbatasan
manusia. Mengambil keputusan etis selalu membawa manusia kepada ketegangan dan
kegelisahan. Keteganagan antara yang ideal dan yang fungsional, kegelisahan
bahwa yang paling ‘ternyata’ selalu ‘belum’. Disinilah etika berakhir. Yaitu
pada yang ‘belum’. Tapi juga disinilah etika itu muai. Yaitu, untuk selalu
mengusahakan yang ‘lebih’. Mengusahakan yang lebih benar, lebih baik, lebih
tepat setiap kali. Etika adalah suatu proses yang dinamis dan kreatif yang tak
mengenal berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar