Kamis, 14 Mei 2015

BOOK REPORT - ETIKA SEDERHANA DR.PHIL EKA DARMAPUTERA



BAB I PERKENALAN PERTAMA
          Manusia adalah mahkluk yang bertanya, itulah yang merupakan ciri khas manusia dibandingkan mahkluk hidup lainnya. Bartanya artinya, manusia tidak mau menerima secara pasif begitu saja, baik keadaan dirinya maupun lingkungannya. Ia ingin tahu segala sesuatu. Inilah kunci peradaban manusia. Peradaban adalah hasil proses transformasi dan adaptasi. Peradaban adalah hasil proses perubahan dan penyesuaian diri.  Manusia adalah mahkluk yang bertanya. Begitulah ia, sejak ia lahir. Ia bertanya dengan matanya. Kemudian dengan tangannya. Baru terakhir dengan mulutnya Pertanyaan yang paling awal, ialah : apa ? what is ? tentu kita masih ingat betapa sering tidak sabarnya kita menjawab pertanyaan-pertanyaan apa ini dan apa itu. Disini manusia mulai menghadapi dilema untuk menjawab pertanyaan apa, yang dibutuhkan adalah sebuah nama. Tetapi untuk menjawab pertanyaan mengapa yang diperlukan adalah sesuatu gagasan.

Mengapa manusia harus menghadapi dilemma ?
Sebab pada satu pihak, manusia tidak betah hidup dalam rahasia. Pada pihak lain manusia menyadari bahwa akalnya tak selalu berhasil menyingkap semua rahasia dan menjawab semua pertanyaan. Disini kita berjumpa dengan dimensi supra-rasional dalam kehidupan manusia. Ketika manusia sampai kepada batas kemampuan rasionalnnya, ia terbuka untuk hal-hal yang supra-rasional, yang trans-senden. Yang mengatasi akalnya. Yang melampaui kenyataan-kenyataan lahiriah yang dapat ditangkap oleh panca inderanya.
Menurut Malinowsky mereka membutuhkan ilmu untuk melaksanakan hal-hal yang ada di dalam batas kemampuan manusiawi mereka. Disini mereka harus berahadapan dengan kuasa-kuasa diluar kemampuan manusiawi mereka. Ilmu saja tidak cukup. Mereka membutuhkan sesuatu yang lain. Yang lain itu adalah agama.
Kesadaran etis manusia merupakan bagian yang intrinsic didalam hakekat kemanusiaan. Yang dimaksud dengan kesadaran etis adalah. Kesadaran tentang norma-norma yang ada pada diri manusia. Norma-norma inilah yang mengendalikan tingkal laku manusia. Kesadaran etis belum dapat disebut etika setiap orang dan semua orang mempunyai kesadaran etis. Tetapi itu tidak berarti bahwa setiap orang dan semua orang mengetahui apa-apa tentang itu.
Etika adalah ilmu atau studi mengenai norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Secara seerhana dapat dikatakan, bahwa etika itu berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, tentang apa yang bener, baik dan tepat. Etika membahas, menganalisa, dan kemudian merumuskan objek studinya itu secara rasional dan masuk akal. Dengan mengatakan bahwa prinsip-prinsip etik itu relative bersifap langgeng dan universal, tidak berarti bahwa etika lalu merupakan ilmu yang statis. Sebaliknya yang benar. Etika adalah ilmu yang dinamis.
BAB II PERSOALAN KITA
Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Tetapi, tidak semua yang harus dilakukan oleh manusia itu adalah persoalan etika.
Disini kita berhadapan dengan apa yang seharusnya, ya, tapi bila… harus , bila… jangan atau tidak boleh,  bila… disini kitab erhadapan dengan apa yang wajib kita lakukan, tetapi itu tergantung. Keharusan ini disebut sebagai keharusan yang hipotetis  etika tidak sekali lagi tidak berbicara tentang keharusan yang hipotetis.
Keharusan yang hipotetis adalah keharusan yang bersifat kondisional. Artinya, ia hanya berlaku untuk memnuhi kondisi-kondisi atau syarat-syarat tertentu. Keharusan etik adalah keharusan yang tidak kondisional. Ia bersifat mutlak. Ia harus begita dalam kondisi apapun juga. Keharusan seperti ini disebut keharusan Kategoris.
Yang seharusnya di dalam etika ialah : yang benar, yang baik, dan yang tepat. Yang tidak boleh dalam etika ialah : yang salah, yang jahat, dan yang tidak tepat.
Deontologis. Carfa befikir etik seperti Deontologis yaitu cara berfikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip, hokum, norma obyektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kodisi apapun juga. Etika yang deontologis, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah. Di dalam etika Kristen, cara berfikir deontologis adalah cara melakukan penilaian etik yang meletakkan HUKUM ALLAH sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat ditawar-tawar. Cara berfikir teleologis. Teleos, artinya tujuan cara berfikir teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hokum. Ia tau betul apa yang benar dana apa yang salah.
Cara berfikir teleologis dengan demikian bebas dari bahaya. Bahaya yang pertama adalah bahaya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Bahaya yang kedua dalam bentuknya yang extrim adalah hedonism.
Kontekstual. Pada prinsipnya, etika yang deonlogis maupun teleologis tidak terlampus memperhitungkan situate dan kondisi. Hokum atau prinsip atau norma yang diperkenalkan oleh Kant adalah universal. Artinya berlaku dimana saja dan kapan saja. Menurut Aristoteles dimanapun dan kapanpun.
Fungsi etika adalah untuk memberikan pegagngan kepada manusia mengenai apa yang seharunya.
Keputusan. Etika bukan saja ilmu yang menarik etika adalah juga ilmu yang sulit. Iman kristinani memberi penjelasan, bahwa itu tidak mungkin karena kita adalah orang-orang yang berdosa. Menurut Marthin Luther, orang percaya adalah orang yang sekaligus dibenarkan dan sekalgus berdosa. Jadi keputusan etis apapun yang kita lakukan tidak pernah sempurna. Ia selalu harus kita lakukan dengan penuh kerendahan hati bahkan dengan pengakuan dosa.
BAB II NILAI-NILAI ETIS
Manusiawi. Etika berbicara tentang apa yang seharusnya. Tentang apa yang benar, baik dan tepat.
Filsafat hidup. Secara umum dan sederhana, ilmu-ilmu diperlukan untuk menjelaskan kenyataan. Ilmu-ilmu secara ilmiah juga menjelaskan pertanyaan, menjelaskan hukum-hukum alam tentang sebab akibatnya sesuatu gejala.  Etika adalah ilmu tentang nilai-nilai itu.
Nilai-nilai. Ia menyangkut keyakinan tentang yang benar, yang baik dan yang tepat. Setiap orang mempunyai nilai-nilai yang dipegangi. Tapi tak semua orang tau persis apa itu. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi. Yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Menurut Steeman , nilai adalah memberi makna kepada hidup ini titik tolak isi dan tujuan.
Fungsional dan ideal. Dalam kehidupan kita tak selalu apa yang kita ingini, walaupun dengan segenap hati, dapat terjadi. Dan oleh karena itu, tidak jarang hidup ini memaksa kita untuk berkompromi. Politik misalnya adalah seni kompromi. Orang-orang dengan nilai ideal selalu menarik dan mengagumkan. Persoalan etis adalah persoalan bagaimana menitih jalan diantara yang fungsional dan ideal itu.
BAB IV  KESADARAN ETIS ITU BERTUMBUH
Ilmu tidak dapat menjawab semua persoalan etis. Pada bab ini memberikan contoh bagaimana etika dapat belajar dari psikologi. Khususnya seorang psikolog Lawrence Kohlberg. Kohlberg membagi jenjang ksedaran etis menjadi enam jenjang. Yang terbagi atas tiga bagian pertama, molaritas pra-konvensional. Yang kedua, tahapan moralitas konvensional. Dan yang ketiga, ialah tahapan moralitas purna-konvensional.
Molaritas Pra Konvensional : Kekanak-kanakan
Jenjang pertama, Kohlberg menamakan jenjang yang paling awal dari kesadaran etis seseorang, sebagai kesadaran yang berorientasi kepada hukuman.
Jenjang kedua, pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang kedua ini adalah: bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Kohlberg mengatakan bahwa nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat instrumental. Artinya alat untuk mencapai kenikmatan.
Moralitas Konvensional: Orangtua
Pada molaritas konvensional, titik pusatnya adalah diri sendiri. Pada molaritas konvensional, cakrawala pemikiran seseorang sudah jauh lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang lain.
Jenjang ketiga, jenjang ketiga ini telah terarah kepada bagaimana menyenangkan orang lain. Orang tidak lagi diperbudak oleh dirinya sendiri. Tidak lagi diliputi oleh ketakutan-ketakutan. Yang ada ialah, melakukan yang benar dan yang baik.
Jenjang keempat, yang harus jadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan ialah, harus merujuk pada suatu prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Yaitu hukum obyektif yang tidak hanya berlaku untuk satu-satu kelompok saja., tetapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal. Inilah orientasi dari moralitas pada jenjang ini. Pada jenjang ini, seseorang telah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi.
Molaritas Purna-Konvensional: Dewasa
Menurut Kohlberg, jenjang keempat belumlah merupakan puncak perkembangan moral manusia.
Jenjang kelima, pada jenjang ini orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya tidak lain adalah kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh sebab itu, kesepakatan antar manusia pulahlah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta merata dianggap kudus yang tidak dapat diubah.
Jenjang keenam, menurut Kohlberg, pada jenjang keenam iniliah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya. Yaitu morolitas yang pantang pengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Secara tidak langsung, Kohlberg berbicara tentang sebuah sikap etis yang amat penting, tapi yang sering terlupakan. Yaitu pertama, kita harus terlebih dahulu berusaha memahami sesuatu sedalam-dalamya, sebelum menilai. Dan kedua, prinsip-prinsip etis yang kita yakini itu pertama-tama harus berlaku untuk kita, sebelum kita terapkan kepada orang lain. “karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi, dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Matius 7:2).
Apakah universalitas menghilangkan identitas, apakah identitas bertentangan dengan universalitas, apakah keterkaitan seseorang pada kelompok tertentu selalu berarti mengurangi universalitasnya. Universalisme bukanlah kosmopolitanisme. Kedudukan seseorang sebagai bagian dari kemanusiaan yang universal tidak serta merta menanggalkan ikatannya dengan persekutuan-persekutuan tertentu yang lebih sempit.
BAB V ETIKA ITU PENJARA
Kohlberg mengatakan, bahwa moralitas yang dewasa adalah moralitas yang didalamnya manusia mengambil keputusan-keputusan sendiri sebebas-bebasnya.
Penjara sosial. Kata William Shakespeare “seluruh dunia adalah panggung sandiwara.” Kata Jean Jacques Rousseau “Manusia itu dilahirkan bebas. Tapi dimanapun ia terbelenggu. Ia beprikir bahwa ia adalah tuan atas yang lain. Sesungguhnyalah, ia lebih budak dari mereka.” Kita dipenjarakan oleh nilai-nilai etis kita sendiri, kita lebih sering tidak mengisyafinya bagaikan budak yang merasa bebas. “sebaik-baiknya orang yang tidak sadar, masih lebih baik orang yang eling, orang yang sadar.’’  Ronggowarsito. Penjara social telah menentukan selera dan cita-rasa kita.
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa nilai-nilai etis itu sebenarnya tidak lain daripada kesepakatan-kesepakatan social belaka. Masyarakatlah yang menetapkannya.
Penjara ekonomi. Karl Marx mengatakan bahwa siapa yang menguasai ekonomi, ialah yang menguasai manusia. Seluruh tindak-tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi. Didalam masyrakat ekonomi adalah struktur-bawah yang memberi bentuk dan corak. Agama pun terlepas dari ekonomi,.
Menurut Marx agama adalah alat legitimasi/alat untuk mengesahkan dari kelas ekonomi tertentu. Ekonomi memenjarakan nilai-nilai etis kita.
Mary Douglas, masyarakat manusia itu pada hakekatnya dapat dibagi menjadi empat tipe.
·           Tipe pertama, adalah tipe masyarakat yang amat menonjolkan faktor kelompok.
·           Tipe kedua, adalah yang sepenuhnya bertolak-belakang dari tipe yang pertama.
·           Tipe ketiga, menurut Douglas adalah, tipe masyarakat dimana baik factor kelompok maupun faktor individu sama-sama mendapat penekanan.
·           Tipe keempat, yaitu tipe masyarakat yang tidak menekankan baik faktor kelompok maupun faktor individu.



BAB VI ETIKA ADALAH PERAN

Bebas. Gambaran sebuah panggung pertunjukan berbeda dengan sebuah penjara. Panggung pertunjukan membawa rasa kebebasan.
Memilih. Kebebasan adalah kenyataan yang ada pada setiap kita. Bila kita tidak bebas, itu adalah karena di dalam kebebasan kita, kita memilih untuk tidak bebas. Juga ketidakbebasan adalah tanda kebebasan manusia.
Sartre. Menurut Sartre, ada sebuah dimensi didalam kehidupan manusia, dimana seseorang sekedar adalah obyek permainan keadaan disekitarnya, tanpab dapat berbuat apa-apa. Dimana orang diperhadapkan kepada suatu keharusan yang hanya harus diterima.
            Dalam bahasa fasafati, orang menganggap bahwa manusia adalah esensi yang sudah jadi., eksistensinya tinggal mengikuti esensi yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
            Menurut Sartre, tidak ada norma-norma etis yang sudah jadi dan tinggal kita ikuti. Tidak seorangpun dapat dan berhak untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk kita. Sartre mempunyai pemahaman falsafi yang bertolak belakang dengan hakekat manusia yang sebenarnta. Baginya, manusia adalah pencipta. Padahal ia adalah mahkluk. Manusia itu bebas tanpa batas. Padahal, ia begitu terbatas.
            Dietrich Bonhoeffer: kebebasan tanpa ketaatan adalah perbudakan hawa nafsu, sedang ketaatan tanpa kebebasan adalah penindasan. Tanggung jawab adalah kedua-duanya. Ketaatan diadalam kebebasan, dan kebebasan didalam ketaatan. Itulah manusia yang sebenarnya.

BAB VII ETIKA ADALAH RASA

Rasa. Manusia dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang lebih mamakai rasio. Kelompok kedua, adalah mereka yang lebih mengutamakan rasa. Yang satu dikendalikan oleh otak, sedangkan yang lain dikendalikan oleh hati.
Kasih itu cukup, inilah sikap etis yang menggemparkan yang pernah diperkenalkan oleh Joseph Fletcher, dengan apa yang disebutnya Etika Situasi. Kasih adalah nilai etis yang utama dan pokok, bahkan satu-satunya norma etis. Setiap tindakan, yang lahir dari kasih, adalah benar dan baik dan tepat.
Moralitas baru, disebut baru oleh karena berbeda dengan moralitas yang lama., ia tidak menggantungkan diri kepada hokum-hukum yang eksternal dan obyektif. Disebut baru oleh karena berbeda dengan moralitas lama, ia tidak secara hantam kromo mau menerapkan satu norma intuk semua situasi.
Kasih itu rasional. Menurut Fletcher, kasih itu tidak buta. Kasih yang benar selalu menuntut perhitungan-perhitungan rassional. Orang harus memikirkan secara saksama konsekwensi-konsekwensi setiap tindakannya.
Kasih saja tidak cukup.  Melalui Etika Situasinya, memberi peringatan penting bagi kita. Yaitu, bahwa hendaknya kita tidak tergesa-gesa dan dengan semena-mena menghakimi tindakan orang lain hanya berdasarkan hukum-hukum yang obyektif. Yaitu hendaknya kita dengan penuh peringatan menilai seseorang tanpa terlepas dari situasi yang unik dimana orang itu berada.
Etika emotif. Masih dalam wilayah etika adalah rasa. Maksudnya ialah suatu pendekatan filsafati yang disebut analisa linguistik. Etika adalah soal cita-rasa. Sebab itu tidak dapat diperdebatkan.
Soal keyakinan. Muara dari pandangan etis seperti yang dikemukakan di atas, adalah: kita tidak dapat mengatakan apakah suatu pandangan etis tertentu itu benar atau salah. Persoalan di dalam etika, bukanlah soal benar atau salah. Tetapi persoalan cita rasa siapa yang menang. Para filsuf profesional mengenal dua kebenaran yaitu;
a.       Kebenaran yang dihasilkan oleh hukum-hukum logika.
b.      Kebenaran yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ilmiah.
Penganut analisa bahasa sehari-hari berkesimpulan bahwa: sekalipun kebenaran etis  tak dapat dibuktikan menurut hukum-hukum logika atau menurut prosedur penelitian ilmiah, ia tetap adalah kebenaran. Etika adalah soal sikap (yang lahir dari perasaan) tetapi juga soal keyakinan (tentang benar dan salah).
BAB VIII ETIKA ADALAH AKAL
Pertama-tama etika harus belajar dari ilmu psikologi. Lawrence Kohlberg, etika bukanlah sesuatu yang statis. Bahwa kesadaran moral itu berkembang dan bertumbuh. Bahwa yang benar dan yang baik itu relative. Relatif di dalam arti dan hubungan dengan jenjang perkembangan moral seseorang. Kemudian etika juga mesti belajar dari ilmu sosiologi. Maksudnya ialah, agar kita tidak terlalu cepat bermimpi seolah-olah mengambil keputusan etis dengan bebas adalah perkara gampang.
            Manusia itu sesungguhnya bebas, kata Sartre. Tetapi kebebasan itu sering terasa sebagai beban dan kutuk. Sadar atau tidak sadar, manusia tidak mau dan tidak berani bebas. Secara falsafi, tokoh-tokoh analisa linguistik menurut mereka pernyataan etis bukanlah pernyataan yang menyangkut factual yang dapat diteliti dan dibuktikan secara ilmiah. Penilaian etis menurut mereka adalah menyangkut keyakinan orang.
Kognitif bukan emotif. Mengambil keputusan etis dan melakukan penilaian etis, adalah tindakan kognitif bukan emotif. Menyangkut otak bukan hati. Dosa yang terbesar menurut Oscar Wilde adalah kebodohan. Yaitu ketika manusia tidak mau menggunakan akalnya.
Dengan akalnya manusia dapat mengetahui lingkungan sekitarnya dari yang paling sempit sampai kepada yang paling luas.ia dapat mengetahui hukum-hukum kodrat.
Hukum Kodrat. Alam semesta mempunyai hukum-hukumnya. Ini dapat diketahui melalui akal.
Ditemukan atau ditulis. Alam semesta diandaikan sebagai sesuatu yang telah jadi, yang telah selesai. Alam semesta bukanlah sesuatu yang telah jadi, melainkan terus-menerus terlibat di dalam suatu proses untuk menjadi.
            Dua pemikiran tentang hubungan (akal) manusia dengan alam yaitu filsafat obyektivisme dari Ayn Rand. Dan yang kedua ialah filsafat pragmatism dari John Dewey.
BAB IX ETIKA KRISTEN
Etika Kristen pertama-tama, adalah etika, harus merupakan sesuatu yang terbuka dan dinamis bergerak didalam ruang dan waktu. Analisa etis harus merupakan suatu interaksi antar disiplin ilmu, dengan konteks budaya sekitar, berorientasi pada masalah-masalah kongkret, dan peka terhadap perkembangan serta kecenderungan-kecenderungan mutakhir.
            Secara sederhana, etika adalah ilmu yang membahas mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam situasi tertentu. Gustafson mengatakan bahwa Etika Kristen itu tidak hanya boleh hanya asal mengutip ayat-ayat Alkitab, lalu beranggapan bahwa dengan berbuat itu secara otomatis telah menjadi Etika Kristen.
            Disimpukan bahwa Etika Kristen ternyata bukanlah etika untuk orang Kristen. Etika oleh orang Kristen benar. Sebab ia diilhami oleh asumsi-asumsi dasar iman kristiani. Tapi ia adalah untuk semua orang.
            Teologi juga berbicara tentang manusia. Teologi sebenarnya dalam arti tertentu adalah anthropologi. Artinya ialah ketika Allah menyatakan diriNya, maka yang terjadi ialah bukan saja bahwa Ia hendak menyatakan siapa Dia, tetapi juga hendak menyatakan siapakah manusia sebenarnya-manusia kepada siapa Allah hendak melibatkan diri di dalam dialog. Melalui teologilah, orang Kristen berusaha memahami, menjelaskan dan mengkomunikasikan siapa manusia itu sebenarnya.
Manusia itu berdosa. Manusia adalah gambar Allah yang jatuh kedalam dosa (Kejadian 3). Manusia adalah mahkluk. Ia bukan Allah. Ia tidak terbatas. Kebaikannya pun terbatas. Terbatas, dalam arti: dapat menjadi tidak baik. Hanya Allah yang kebaikannya tanpa batas, artinya tidak mungkin menjadi tidak baik.
Manusia itu pendosa yang dibenarkan. Pemahaman yang realistis tentang manusia tercermin di dalam aspek yang ketiga dalam anyhropologi Kristen yaitu, bahwa manusia adalah pendosa yang ditebus dan dibenarkan oleh Allah di dalam dan melalui Yesus Kristus.
Implikasi etis. Artinya secara etis dipahami manusia sebagai mahkluk ciptaan bahkan sebagai gambar Allah yang baik, tetapi yang jatuh kedalam dosa, dan kemudian telah dibenarkan di dalam Yesus Kristus dan dikuduskan melalui karya Roh Kudus.
·           Manusia adalah mahkluk ciptaan dan gambar Allah yang baik berarti, bahwa kebaikan eksistensi manusia bahkan seluruh alam ciptaan harus menjadi asumsi dasar positif dalam setiap pertimbangan dan penilaian etis kita.
·           Manusia adalah mahkluk ciptaan yang telah jatuh kedalam dosa berarti, bahwa kedosaan manusia dan rusaknya seluruh alam ciptaan harus menjadi asumsi dasar negative dalam setiap pertimbangan dan penilaian etis kita.
·           Manusia yang pendosa itu telah dibenarkan dan dikuduskan berarti, bahwa pergumulan etis kita selalu bergerak di antara kemungkinan dan keterbatasan.
BAB X ASUMSI DASAR POSITIF
Setiap orang boleh menentukan Asumsi Dasar Positifnya sendiri-sendiri. Namun walaupun demikian, asumsi dasar positif bukan saja dipahami sebagai sesuatu yang subyektif saja tapi juga harus memenuhi kriteria yang obyektif.
Pertama, asumsi dasar positif harus dapat dipertanggungjawabkan secara teologis alkitabiah.
Kedua, asumsi dasar positif harus dapat dipertanggungjawabkan menurut penalaran yang umum, sehingga paling sedikit secara hipotetis ia dapat dipahami dan diterima secara universal.
            Menentukan asumsi dasar positif merupakan salah satu langkah terpenting di dalam etika. Sebab inilah yang akan menjadi tolok ukur segala sesuatu. Di dalam bahasa Inggris, beban untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang berlawanan dengan asumsi dasar positif itu disebut “burden of proof”.


            Ada empat usulan Asumsi Dasar Positif yang telah dikemukakan oleh Eka Darmaputera, yaitu:
1)      Bahwa eksistensi semua ciptaan itu baik
2)      Bahwa kehidupan perorangan harus dihormati
3)      Bahwa seluruh umat manusia itu satu
4)      Bahwa semua orang itu sederajat
            Etika Kristen mengenal keadaan ‘darurat’, sehingga membenarkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan Asumsi Dasar Positif. Karena disamping dasar asumsi positif, etika Kristen mengenal apa yang disebut Asumsi Dasar Negatif. Tanpa memperhitungkan, maka Etika Kristen tidak akan fingsional, sebab ia tidak memperhitungkan seluruh segi dari kenyataan hidup manusia.
BAB XI ASUMSI DASAR NEGATIF
Kenyataan hidup manusia seringkali memaksakan pengecualian-pengecualian. Secara etis pengecualian-pengecualian itu tidak hanya mempunyai arti praktis. Ia mempunyai arti etis bahkan teologis. Selaian itu juga pengecualian-pengecualian tersebut mencerminkan dimensi yang lain dari hakekat kemanusiaan kita. Hanya memperhitungkan Asumsi Dasar Positif saja berate hanya melihat manusia dari satu dimensi saja., yaitu dimensi sebagai gambar Allah. Namun alkitab mengatakan, bahwa gambar Allah itu telah jatu ke dalam dosa. Bahwa dosa kini mau tidak mau diperhitungkan secara prinsipal, apabila kita mau berbicara tentang manusia dan seluruh tindakannya.
            Pengecualian-pengecualian tidak hanya merupakan masalah praktis, melainkan bersangkutpaut dengan kenyataan hakiki dari manusia sendiri. Bahwa bukan hanya Asumsi Dasar Positif, tetapi juga Asumsi Dasar Negatif, harus kita perhitungkan ketika kita berbicara mengenai tindakan manusia.
Kefanaan manusia. Kefanaan manusia tidaklah jahat pada dirinya. Inkarnasi, yaitu peristiwa Allah menjadi manusia, justru menunjukan sebaliknya. Allah menghargai kefanaan manusia, dengan menjadikan DiriNya yang kekal itu menjadi manusia yang fana. Allah tidak terbatas. Kefanaan manusia juga berarti bahwa ia tek pernah mampu secara sempurna melaksanakan Asumsi-asumsi Dasar Positifnya sendiri. Asumsi Dasar Positif tidak saja merupakan titik-tolak bagi tindakan manusia, tetapi juga merupakan tujuan/sasaran tindakannya yang selalu berusaha didekati, tapi tak benar-benar dikuasai. Kefanaan manusia seharusnya bersifat amat rendah hati dan terbuka.
Kedosaan manusia. Dosa merupakan tema yang sentral di dalam seluruh pemberitaan Alkitab setiap kali ia berbicara tentang siapa manusia itu. Bahwa doasa adalah suatu kenyataan yang universal. Bahwa semua orang telah berdosa dan kurang kemuliaan Allah. Universalitas dosa juga dapat dipahami dari sudut lain. Yaitu dari kebebasan manusia.
Implikasi etis. Setiap tindakan dan kebijaksanaan harus didasarkan atas asumsi bahwa semua orang dan setiap orang bias berbuat salah. Bukan saja bias, tetapi selalu cenderung untuk berbuat salah, sebab semua orang adalah mahkluk yang fana dan berdosa belaka.
BAB XII JAHAT-TAPI-APA-BOLEH-BUAT
Masalah keharusan untuk menerima pengecualian etis dan kebutuhan untuk berkompromi dengan jahat dan yang salah, ternyata bukanlah Cuma masalah manusia modern. Ia sudah hadir sejak awal sejarah manusia. Ketika berbicara mengenai perceraian, Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan perceraian oleh karena ‘ketegaran hatimu’ (Matius 19:8). Musa tahu bahwa itu adalah jahat tapi apa boleh buat. Apakah dengan begitu Yesus menolak perceraian sama sekali ? jawab Yesus : “tetapi Aku berkata kepadamu: barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (ay. 9).
            Pandangan Seneca tentang tulisan-tulisan pemikir-pemikir Kristen (antara lain :Thomas Aquinas dan Martin Luther) di jaman patristik. Ketika mereka membicarakan masalah hak milik, perbudakan dan peperangan. Augustinus, misalnya, dengan tandas mengatakan bahwa perbudakan dan peperangan tidaklah sesuai dengan berita Injil. Namun demikian keduanya dibutuhkan sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Peperangan menurut Augustinus, adalah kejahatan yang tragis. Kita harus menghindarkannya seberapa mungkin. Tapi oleh kejatuhan manusia ke dalam dosa, ia kadang-kadang dibutuhkan untuk menghindarkan manusia dari kejahatan yang lebih besar. Jahat tapi apa boleh buat.
            Terpaksa melakukan sesuatu yang jahat sama sekali tidak boleh disamakan dengan terpaksa berbuat dosa, sehingga seolah-olah menimbulkan kesan bahwa ada dosa yang dapat dibenarkan. Apakah tidak lebih baik kita untuk tidak berbuat apa-apa, daripada terpaksa berbuat dosa? Leo Tolstoy mengatakan bahwa “lebih baik kita menderia oleh karena dosa, daripada berusaha melawannya tetapi dengan akibat kita terpaksa berkompromi dengannya.
            Ellul mengatakan bahwa kekerasan tidak pernah menghasilkan kebaikan.dari perspektif Kristen, tidak berbuat kekerasan selalu lebih baik daripada  berbuat kekerasan. Sebab menurutnya, satu tindak kekerasan akan merupakan awal dari suatu lingkaran setan yang hanya melahirkan kekerasan-kekerasan lain tanpa akhir.
            Etika yang fungsional dan operasional harus mempunyai ruang untuk keterbatasan manusia. Mengambil keputusan etis selalu membawa manusia kepada ketegangan dan kegelisahan. Keteganagan antara yang ideal dan yang fungsional, kegelisahan bahwa yang paling ‘ternyata’ selalu ‘belum’. Disinilah etika berakhir. Yaitu pada yang ‘belum’. Tapi juga disinilah etika itu muai. Yaitu, untuk selalu mengusahakan yang ‘lebih’. Mengusahakan yang lebih benar, lebih baik, lebih tepat setiap kali. Etika adalah suatu proses yang dinamis dan kreatif yang tak mengenal berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar