KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus
karena atas penyertaannya saya dapat menyelesaikan Tugas Liturgika dengan
materi “Sejarah Liturgika: Secara Etimologis, Teologis dan Sebagai Ilmu dengan
tepat waktu.
Saya menyadari bahwa makalah ini tidaklah sepenuhnya
sempurna, untuk itu dengan kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan tugas m
Dengan demikian kami sebagai kelompok yang telah bekerja
sama dalam penulisan makalah ini memohon maaf apabila dalam pembuatan ataupun
penulisan makalah ini ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga
makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca nantinya.
Penyusus
Februari
2015
1.
Liturgika
secara Etimologis
Persembahan hidup yang berkenan kepada Allah dapat
disejajarkan dengan kata-kata dalam beberapa bahasa yang digunakan untuk
ibadah. Pertama-tama adalah worship,berasal
dari weorthscipe (weorth [worthy] scipe [ship]), yakni hal yang layak
dilakukan. Kata ini digunakan misalnya untuk Sunday worship atau ibadah minggu.
Kata service berasal dari servitium, menunjuk kepada morning service atau
ibadah harian pagi. Artinya adalah pelayanan, yakni pekerjaan yang dilakukan
untuk orang lain. Kata office berasal dari officium, yakni kesediaan melayani,
digunakan misalnya untuk daily office atau divine office, yakni ibadah harian.
Kata cult (cultus) mempunyai arti lebih sempit dari pada asli latinnya: colere,
yang menyangkut relasi ketergantungan antara pemberi dan penerima misalnya
seorang petani mendapat akibat buruk jika ia tidak melayani tanamannya dengan
menyiraminya. Pemerintah akan kehilangan wibawahnya sebagai abdi rakyat apabila
tidak bertindak adil kepada rakyat.
Kata yang paling umum dipakai adalah Liturgi. Kata
ini berasal dari bahasa Yunani Leitourgia.
Leitourgia berasal dari dua kata,
yaitu ergon, artinya melayani atau
bekerja, dan laos, artinya bangsa,
masyarakat, persekutuan umat. Kata Laos dan
ergon diambil dari kehidupan
masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan Negara.
Secara praktis hal itu berupa bayar pajak, membela Negara dari ancaman musuh
atau wajib militer. Namun leitourgia
juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah,
misalnya penarik pajak. Rasul Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan (leitourgoi) Kristus Yesus bagi
bangsa-bangsa bukan Yahudi (Rm. 15:16). Paulus juga menyebut para penarik pajak
sebagai para pelayan (leitourgoi)
Allah (Rm 13:6). Sebagaimana pemahaman Paulus, liturgi tidak terbatas pada
perayaan gereja. Kata liturgy sendiri baru dimasukan sebagai perayaan ibadah
gereja pada sekitar abad ke-12. Istilah liturgi malah telah diterima secara
umum untuk menyebut ibadah Kristen, misalnya liturgy of word untuk untuk pemberitaan firman.[1]
Selain liturgi, kata dalam bahasa Indonesia yang
sejajar ialah “kebaktian”. Bhakti
(sansekerta) ialah perbuatan yang menyatakan setia dan hormat, memperhambakan
diri, perbuatan baik. Bhakti dapat ditujukan baik untuk seseorang, Negara,
maupun untuk Tuhan yang dilakukan dengan sukarela. Istilah ini digunakan
misalnya untuk menyebut kebaktian Natal.
Kata ibadah, misalnya ibadah minggu, berasal dari
bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu (abdi= hamba). Kata ini sejajar
dengan kata bahasa Ibrani, abodah (ebed=hamba), yang artinya perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Tuhan. Ibadah terkait seerat-eratnya dengan suatu
kegiatan manusia kepada Allah, yakni dengan pelayanan kepada Tuhan.
Christoph Barth (1917-1986) tidak membedakan
pemakaian “kebaktian”, “ibadah”, dan “pengabdian” ,untuk menyatakan sikap hidup
hamba Allah dan untuk menghayati hidup beragama, pengabdian yang dimaksud ialah
pelayanan kepada Tuhan berupa kebaktian atau ibadah. Pemahaman ibadah atau
kebaktian tidak terbatas pada sisi selebrasi yakni upacara bagi Tuhan tetapi
mengandung “perbuatan tunduk dan hormat”.[2]
Pada satu pihak kebaktian mempunyai makna terbatas pada upacara agama dalam
bentuk perayaan. Pada pihak lain kebaktian mempunyai makna luas yakni sikap
hidup sebagai pelayan Tuhan. Sikap hidup ini menyangkut tabiat, perbuatan,
karakter, pola pikir yang ditunjukan secara utuh dan nyata oleh orang percaya
di dalam dunia.
Ketiga
kata dalam bahasa Indonesia tersebut, yaitu “liturgy”,”kebaktian”, dan
“ibadah”, secara resmi digunakan secara sama dan sejajar. Walaupun bahasa
Indonesia tidak memilah arti dan konotasi kata-kata tersebut. Kata “liturgi”
lebih sering digunakan dalam kaitan dengan disiplin ilmu atau tata cara resmi
dan agung sebagaimana dalam Gereja Katolik Roma. Kata kebaktian lebih sering
digunakan untuk menunjuk kegiatan perayaan peribadahan. Sementara itu kata
“ibadah” cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk perayaan agama apapun,
bahkan agama-agama tradisi dan agama suku. [3]
2.
Liturgy
secara Teologi
Liturgy
adalah kreasi teologis yang sekaligus teoritis dan praksis. Yang pertama tak
dapat berjalann tanpa yang kedua. Jika liturgy hanya berupa teori pada teolog,
ia hanyalah sebuah dogma. Padahal, teologi adalah juga praksis gereja. Gereja
sebagai tubuh Kristus menjadi nyata melalui sikap para anggotanya yang telah
diperbaharui. Teologi sebagai ilmu, misi, dan pembaruan spritualitas adalah
tritunggal dalam liturgy kesatuan tersebut terangkum di dalamnya secara
pastoral. Konsep yang lebih tegas tentang hal tersebut terbaca dalam uraian
berikut ini.
Tidaklah
cukup membatasi praktik yang dengannya si teolog praktika melibatkan diri pada
sub bidang tradisional, yaitu homilitika, liturgika, kateketika dan pastoral.
Tidaklah cukup kalau praktik kristiani dianggap sekedar pelaksanaan tugas
tradisional dan diakui dalam struktur gerejawi yang tak diragukan atau sekedar
kegiatan gerejawi yang memantulkan dan mensahkan orde yang mapan.[4]
Kegiatan
berliturgi tidak memisahkan antara tindakan dan perayaan antara praktik dan
teori, antara kelakuan dan meditasi, antara praksis dan refleksi. Dalam
kerangka pemikiran yang lebih luas, teologi dipahami sebagai usaha untuk
mengenal Allah sambil berjuang untuk melaksanakan kehendak-Nya. Teologi harus
juga melibatkan diri dengan kegiatan Allah maupun kegiatan manusia. Hal itu
ditampilkan dalam liturgy.[5]
Berdasarkan
kajian G.Riemer, maka kata leiturgi yang dipakai dalam Alkitab mempunyai
beragam pengertian. Artinya pengunaan kata leiturgia dalam Alkitab tidak
menunjuk pada satu pengertian. Untuk memastikan apakah benar demikian maka kita
memperhatikannya dalam perjanjian lama dan baru.
Arti kata liturgy dalam
Perjanjian Lama, dalam PL, kata leiturgi dipakai dalam konteks pengertian:
1. Persoalan
Agama.
2. Tugas
imam di kemah suci dan Bait Allah, terutama dalam tugas mezbah
3. Tugas
orang Lewi dalam kemah Suci dan Bait Allah.
Jadi
pelayanan yang dilakukan oleh para imam dan orang Lewi adalah pelayanan yang
berguna untuk Jemaat/umat Israel.
Makna
liturgy yang dipakai dalam Perjanjian Baru sebanyak 15 kali. Namun pengertiannya pun berbeda atau
mempunyai makna yang berbeda.
Dalam PB, kata – kata
leiturgi dipakai dalam pengertian:
1. Menunjuk
tugas Imam
2. Menguraikan
pekerjaan Kristus sebagai Imam
3. Pekerjaan
para rasul dalam PI kepada orang kafir
4. Sebagai
kiasan untuk hal percaya
5. Pekerjaan
malaikat-malaikat, yaitu melayani
6. Jabatan
pemerintah
7. Pengumpulan
persembahan kepada orang miskin
8. Kumpulan
orang yang berdoa dan berpuasa
Pada
zaman setelah Reformasi, khususnya zaman sekarang kata Leiturgia khusunya zaman
sekarang kata Leiturgi dipakai sebagai istilah teknis dalam ilmu Teologi yang
hanya mengacu kepada Tata Ibadah atau Tata Kebaktian. Jadi kata Leiturgi yang
kita pakai sekarang dengan melalui proses perkembangan dalam dunia kekristenan
maka kata leiturgi adalah istilah Teologis, biasanya mengacu kepada tata
ibadah.[6]
3.
Liturgi
sebagai Ilmu
Dalam
disiplin ilmu, liturgy terbatas pada perayaan atau selebrasi, walaupun makna
liturgy sejati tetap dipahami bukan hanya pada selebrasi. Liturgy sebagai
perayaan gereja dilangsungkan setiap hari, setiap hari minggu dan setiap hari
raya. Sifat liturgy adalah respons umat akan karya Allah di dalam sejarah
dunia. Respon umat atau respons gereja mengandung nilai kebersamaan.[7]
Dalam
disiplin ilmu liturgy ada dua tahap yang harus dilakukan oleh teolog atau
pimpinan gereja atau komisi liturgy untuk membuat tata liturgy, yaitu:
·
Mengadakan penelitian
historis dan teologis tentang liturgy dan elemen-elemennya.
·
Menilai dan
memerhatikan relevansinya bagi tata liturgy yang disiapkan.
Dengan
kata lain, liturgy kita dari denominasi apa pun berada dalam suatu tradisi
tertentu yang dapat ditelusuri dalam sejarah gereja. Tradisi yang berasal dari
dan segaris dengan Gereja Mula-mula, Bapa-Bapa gereja, liturgy Barat atau
Timur, denominasi tertentu, dan sumber terakhir liturgy dengan beberapa
penyesuaian dilakukan dalam rangka memeperoleh kerygma, menghayati anamnesis,
dan memberitakan khaton.[8]
Menurut
Calvin, demikian pula Luther, pendidikan untuk seluruh umat berlangsung juga di
sekolah dan di kelas katekisasi. Oleh karena itu, menurut Calvin, liturgy
adalah sarana pendidikan bagi umat dan khotbah adalah wadah untuk mendidik
orang-orang dewasa. Tiada ibadah dan sakramen tanpa pemberitaan firman Allah.
Walaupun firman Allah tidak terbatas hanya pada Alkitab, firman yang tertulis
itu adalah akar dari firman yang diberitakan. Di dalam Alkitab terdapat sumber
pengetahuan. Dengan demikian “Alkitab menjadi isi pokok pendidikan agama
Kristen dan tolak ukur yang dipakai untuk pembinaan warga Kristen.[9]
Daftar Pustaka
James,
White. Pengantar Ibadah Kristen. Cet.5-
Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012
Rasid,
Rachman. Pembimbing ke dalam Sejarah
Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012
Berliturgi.blogspot.in/2013/04/pengertian-liturgi.html?m=1
[1] James White,Pengantar Ibadah Kristen (Terj) (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 14
[2] Rasid Rachman,
Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia,2012), 2-4
[3] Rasid Rachman,
Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta Gunung Mulia, 2012) 4-5
[4] Duncan B Foresster,
“Teologi Praktika”, dalam Paul Avis, Ambang Pintu Teologi (Terj) (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991), 131
[5] Rasid Rachman,
Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta Gunung Mulia, 2012), 8
[6] Berliturgi.blogspot.in/2013/04/pengertian-liturgi.html?m=1
[7] Rasid Rachman, Pembimbing
ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 9.
[8] Rasid Rachman,
Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 12.
[9] Rasid Rachman,
Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 166-167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar