Kamis, 14 Mei 2015

Liturgi secara Etimologis


KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas penyertaannya saya dapat menyelesaikan Tugas Liturgika dengan materi “Sejarah Liturgika: Secara Etimologis, Teologis dan Sebagai Ilmu dengan tepat waktu.
Saya menyadari bahwa makalah ini tidaklah sepenuhnya sempurna, untuk itu dengan kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tugas m
Dengan demikian kami sebagai kelompok yang telah bekerja sama dalam penulisan makalah ini memohon maaf apabila dalam pembuatan ataupun penulisan makalah ini ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca nantinya.









                                                                                                          Penyusus
Februari 2015





1.      Liturgika secara Etimologis
Persembahan hidup yang berkenan kepada Allah dapat disejajarkan dengan kata-kata dalam beberapa bahasa yang digunakan untuk ibadah. Pertama-tama adalah worship,berasal dari weorthscipe (weorth [worthy] scipe [ship]), yakni hal yang layak dilakukan. Kata ini digunakan misalnya untuk Sunday worship atau ibadah minggu. Kata service berasal dari servitium, menunjuk kepada morning service atau ibadah harian pagi. Artinya adalah pelayanan, yakni pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Kata office berasal dari officium, yakni kesediaan melayani, digunakan misalnya untuk daily office atau divine office, yakni ibadah harian. Kata cult (cultus) mempunyai arti lebih sempit dari pada asli latinnya: colere, yang menyangkut relasi ketergantungan antara pemberi dan penerima misalnya seorang petani mendapat akibat buruk jika ia tidak melayani tanamannya dengan menyiraminya. Pemerintah akan kehilangan wibawahnya sebagai abdi rakyat apabila tidak bertindak adil kepada rakyat.
Kata yang paling umum dipakai adalah Liturgi. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Leitourgia. Leitourgia berasal dari dua kata, yaitu ergon, artinya melayani atau bekerja, dan laos, artinya bangsa, masyarakat, persekutuan umat. Kata Laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan Negara. Secara praktis hal itu berupa bayar pajak, membela Negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah, misalnya penarik pajak. Rasul Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan (leitourgoi) Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi (Rm. 15:16). Paulus juga menyebut para penarik pajak sebagai para pelayan (leitourgoi) Allah (Rm 13:6). Sebagaimana pemahaman Paulus, liturgi tidak terbatas pada perayaan gereja. Kata liturgy sendiri baru dimasukan sebagai perayaan ibadah gereja pada sekitar abad ke-12. Istilah liturgi malah telah diterima secara umum untuk menyebut ibadah Kristen, misalnya liturgy of word untuk untuk pemberitaan firman.[1]
Selain liturgi, kata dalam bahasa Indonesia yang sejajar ialah “kebaktian”. Bhakti (sansekerta) ialah perbuatan yang menyatakan setia dan hormat, memperhambakan diri, perbuatan baik. Bhakti dapat ditujukan baik untuk seseorang, Negara, maupun untuk Tuhan yang dilakukan dengan sukarela. Istilah ini digunakan misalnya untuk menyebut kebaktian Natal.
Kata ibadah, misalnya ibadah minggu, berasal dari bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu (abdi= hamba). Kata ini sejajar dengan kata bahasa Ibrani, abodah (ebed=hamba), yang artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan. Ibadah terkait seerat-eratnya dengan suatu kegiatan manusia kepada Allah, yakni dengan pelayanan kepada Tuhan.
Christoph Barth (1917-1986) tidak membedakan pemakaian “kebaktian”, “ibadah”, dan “pengabdian” ,untuk menyatakan sikap hidup hamba Allah dan untuk menghayati hidup beragama, pengabdian yang dimaksud ialah pelayanan kepada Tuhan berupa kebaktian atau ibadah. Pemahaman ibadah atau kebaktian tidak terbatas pada sisi selebrasi yakni upacara bagi Tuhan tetapi mengandung “perbuatan tunduk dan hormat”.[2] Pada satu pihak kebaktian mempunyai makna terbatas pada upacara agama dalam bentuk perayaan. Pada pihak lain kebaktian mempunyai makna luas yakni sikap hidup sebagai pelayan Tuhan. Sikap hidup ini menyangkut tabiat, perbuatan, karakter, pola pikir yang ditunjukan secara utuh dan nyata oleh orang percaya di dalam dunia.

Ketiga kata dalam bahasa Indonesia tersebut, yaitu “liturgy”,”kebaktian”, dan “ibadah”, secara resmi digunakan secara sama dan sejajar. Walaupun bahasa Indonesia tidak memilah arti dan konotasi kata-kata tersebut. Kata “liturgi” lebih sering digunakan dalam kaitan dengan disiplin ilmu atau tata cara resmi dan agung sebagaimana dalam Gereja Katolik Roma. Kata kebaktian lebih sering digunakan untuk menunjuk kegiatan perayaan peribadahan. Sementara itu kata “ibadah” cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk perayaan agama apapun, bahkan agama-agama tradisi dan agama suku. [3]



2.      Liturgy secara Teologi
Liturgy adalah kreasi teologis yang sekaligus teoritis dan praksis. Yang pertama tak dapat berjalann tanpa yang kedua. Jika liturgy hanya berupa teori pada teolog, ia hanyalah sebuah dogma. Padahal, teologi adalah juga praksis gereja. Gereja sebagai tubuh Kristus menjadi nyata melalui sikap para anggotanya yang telah diperbaharui. Teologi sebagai ilmu, misi, dan pembaruan spritualitas adalah tritunggal dalam liturgy kesatuan tersebut terangkum di dalamnya secara pastoral. Konsep yang lebih tegas tentang hal tersebut terbaca dalam uraian berikut ini.
Tidaklah cukup membatasi praktik yang dengannya si teolog praktika melibatkan diri pada sub bidang tradisional, yaitu homilitika, liturgika, kateketika dan pastoral. Tidaklah cukup kalau praktik kristiani dianggap sekedar pelaksanaan tugas tradisional dan diakui dalam struktur gerejawi yang tak diragukan atau sekedar kegiatan gerejawi yang memantulkan dan mensahkan orde yang mapan.[4]
Kegiatan berliturgi tidak memisahkan antara tindakan dan perayaan antara praktik dan teori, antara kelakuan dan meditasi, antara praksis dan refleksi. Dalam kerangka pemikiran yang lebih luas, teologi dipahami sebagai usaha untuk mengenal Allah sambil berjuang untuk melaksanakan kehendak-Nya. Teologi harus juga melibatkan diri dengan kegiatan Allah maupun kegiatan manusia. Hal itu ditampilkan dalam liturgy.[5]
Berdasarkan kajian G.Riemer, maka kata leiturgi yang dipakai dalam Alkitab mempunyai beragam pengertian. Artinya pengunaan kata leiturgia dalam Alkitab tidak menunjuk pada satu pengertian. Untuk memastikan apakah benar demikian maka kita memperhatikannya dalam perjanjian lama dan baru.
Arti kata liturgy dalam Perjanjian Lama, dalam PL, kata leiturgi dipakai dalam konteks pengertian:
1.      Persoalan Agama.
2.      Tugas imam di kemah suci dan Bait Allah, terutama dalam tugas mezbah
3.      Tugas orang Lewi dalam kemah Suci dan Bait Allah.
Jadi pelayanan yang dilakukan oleh para imam dan orang Lewi adalah pelayanan yang berguna untuk Jemaat/umat Israel.
Makna liturgy yang dipakai dalam Perjanjian Baru sebanyak 15 kali. Namun pengertiannya pun berbeda atau mempunyai makna yang berbeda.
Dalam PB, kata – kata leiturgi dipakai dalam pengertian:
1.      Menunjuk tugas Imam
2.      Menguraikan pekerjaan Kristus sebagai Imam
3.      Pekerjaan para rasul dalam PI kepada orang kafir
4.      Sebagai kiasan untuk hal percaya
5.      Pekerjaan malaikat-malaikat, yaitu melayani
6.      Jabatan pemerintah
7.      Pengumpulan persembahan kepada orang miskin
8.      Kumpulan orang yang berdoa dan berpuasa
Pada zaman setelah Reformasi, khususnya zaman sekarang kata Leiturgia khusunya zaman sekarang kata Leiturgi dipakai sebagai istilah teknis dalam ilmu Teologi yang hanya mengacu kepada Tata Ibadah atau Tata Kebaktian. Jadi kata Leiturgi yang kita pakai sekarang dengan melalui proses perkembangan dalam dunia kekristenan maka kata leiturgi adalah istilah Teologis, biasanya mengacu kepada tata ibadah.[6]


3.      Liturgi sebagai Ilmu

Dalam disiplin ilmu, liturgy terbatas pada perayaan atau selebrasi, walaupun makna liturgy sejati tetap dipahami bukan hanya pada selebrasi. Liturgy sebagai perayaan gereja dilangsungkan setiap hari, setiap hari minggu dan setiap hari raya. Sifat liturgy adalah respons umat akan karya Allah di dalam sejarah dunia. Respon umat atau respons gereja mengandung nilai kebersamaan.[7]
Dalam disiplin ilmu liturgy ada dua tahap yang harus dilakukan oleh teolog atau pimpinan gereja atau komisi liturgy untuk membuat tata liturgy, yaitu:
·         Mengadakan penelitian historis dan teologis tentang liturgy dan elemen-elemennya.
·         Menilai dan memerhatikan relevansinya bagi tata liturgy yang disiapkan.
Dengan kata lain, liturgy kita dari denominasi apa pun berada dalam suatu tradisi tertentu yang dapat ditelusuri dalam sejarah gereja. Tradisi yang berasal dari dan segaris dengan Gereja Mula-mula, Bapa-Bapa gereja, liturgy Barat atau Timur, denominasi tertentu, dan sumber terakhir liturgy dengan beberapa penyesuaian dilakukan dalam rangka memeperoleh kerygma, menghayati anamnesis, dan memberitakan khaton.[8]
Menurut Calvin, demikian pula Luther, pendidikan untuk seluruh umat berlangsung juga di sekolah dan di kelas katekisasi. Oleh karena itu, menurut Calvin, liturgy adalah sarana pendidikan bagi umat dan khotbah adalah wadah untuk mendidik orang-orang dewasa. Tiada ibadah dan sakramen tanpa pemberitaan firman Allah. Walaupun firman Allah tidak terbatas hanya pada Alkitab, firman yang tertulis itu adalah akar dari firman yang diberitakan. Di dalam Alkitab terdapat sumber pengetahuan. Dengan demikian “Alkitab menjadi isi pokok pendidikan agama Kristen dan tolak ukur yang dipakai untuk pembinaan warga Kristen.[9]







Daftar Pustaka


James, White. Pengantar Ibadah Kristen. Cet.5- Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012
Rasid, Rachman. Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2012
Berliturgi.blogspot.in/2013/04/pengertian-liturgi.html?m=1


[1] James White,Pengantar Ibadah Kristen (Terj) (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 14
[2] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia,2012), 2-4
[3] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta Gunung Mulia, 2012) 4-5
[4] Duncan B Foresster, “Teologi Praktika”, dalam Paul Avis, Ambang Pintu Teologi (Terj) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 131
[5] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta Gunung Mulia, 2012), 8
[6] Berliturgi.blogspot.in/2013/04/pengertian-liturgi.html?m=1
[7] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 9.
[8] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 12.
[9] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: Gunung Mulia 2012) 166-167

Tidak ada komentar:

Posting Komentar